Rabu, 20 Juni 2018

LEBARAN BERSAMA

Hai my humble bee.
Si perut buncit yg suka ngajakin kulineran.
Udah libur kulineran di bulan puasa. Cuma sesekali aja buka bersama keluarga dan teman-teman.

Kini tibalah saatnya kembali (me)lebar(k)an perut bersama.
First time mudik udah ada yang nyupirin.
First time ikut lebaran di kampung calon suami.
First time punya pasangan bener-bener fit banget di keluarga. My family man.
Satu lagi pinta diam-diam dalam doaku dikabulkan.
Taun ini mudik gak bawa motor sendiri. Alhamdulillah...

Belajar mengenal, berbaur, dan menyatu dengan keluarga baru.
Kalo ditanya soal sungkan dan keki itu pasti.
Tapi diterima ditengah-tengah mereka dengan setulus hati itu yang bikin hidup terasa sangat dihargai.
Kekhawatiran calon suamiku padaku yg mungkin tidak bisa menerima keadaan keluarganya aku patahkan hingga menjadi serpihan.
Im fine with them. Literally, im happy stay in there.

Aku juga punya kekhawatiran sayang.
Aku yang pernah tidak dianggap dalam sebuah keluarga memiliki traumatis yang cukup dalam.
Aku pernah berusaha menampilkan sisi terbaikku, memberikan segala sesuatuku tanpa pamrih, tulus dari hati. Hanya demi diterima seperti anak-anak yang lain.
Kalo soal tenaga, waktu, sampe materi gabisa dihitung lah yaa. Tapi meskipun aku sudah berusaha semaksimal mungkin, jika dari awal mereka tidak menyukaiku semuanya memang berakhir sia-sia. Dipatahkan menjadi serpihan kemudian dihempaskan dan dibiarkan berserakan.
Sebegitu mendalamnya kekhawatiranku hingga aku psimis dan rendah diri.

Memangnya keluarga siapa yang mau menerimaku yang berasal dari keluarga biasa dan hanya lulusan SMK ini?
Memangnya orangtua mana yang mau mengalihkan anaknya kepadaku yang tidak bisa masak ini?
Memangnya siapa yang bersedia menerima segala bentuk kekuranganku ini?

Calon suamiku jawabannya.

"Kamu kenapa bisa menerimaku dan keluargaku yang rakyat biasa ini dengan keadaan yang sangat apa adanya ini?"
Tanyanya sambil menatapku dalam-dalam.

"Keluargamu sangat mudah menerima kehadiranku. Mereka gembira aku berada di tengah-tengah mereka yang akan mendampingimu. Mereka tidak membedakanku denganmu. Lalu alasan apalagi yang bisa membuatku menolak menerima mereka? Aku menyayangi mereka sama seperti aku menyayangi keluargaku sendiri."

Dia tersenyum sebentar, menghela nafas, bersyukur kemudian mendaratkan kecupan di keningku.

"Terima kasih sayangku. Aku bahagia memilikimu."

"Aku lebih bahagia dipertemukan dan dibersamakan dengan orang sepertimu dan keluargamu."

Kami saling memandang dan tersenyum. Mungkin ribuan ucapan syukur tidak cukup menggambarkan kedamaian dan kebahagiaan hidupku malam itu.

Kemudian dia mengedipkan matanya ke arah panci soto ayam kampung sisa acara 100 harinya Kakung. Pertanda menyuruhku mengambilkan nasi putih hangat. Selain membuat trauma, kekhawatiran kami malam itu juga membuat kami lapar. Kami memutuskan menghabiskan isi kuah soto ayam malam itu dengan lahap dan tertidur lelap. Keesokannya celana kembali tidak muat dan aku memutuskan memakai rok lilit.

Terima kasih liburannya..
Terima kasih jalan-jalannya..






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan melayangkan opini-opini Anda dan berbagi bersama