Gema takbir sebentar lagi berkumandang. Tidak menunggu hitungan minggu ataupun bulan. Jiwa-jiwa yg kembali fitrah akan saling bertatap muka dan berjabat satu sama lain. Kelegaan hati dan keikhlasan jiwa menjadi tujuan dalam menahan segala bentuk nafsu satu bulan terakhir. Apakah aku telah termaafkan ? Apakah aku juga sudah siap memafkan ?
Kembali membayangi lingkaran-lingkaran angan di tengah dinginnya malam. Sebuah kesalahpahaman, kekhilafan, bahkan keputusan sepihak tiada henti menjadi pemicu sebuah jarak yg dulunya berdampingan. Aku begitu ingat ketika ada seseorang yg menspesialkanku di dalam hari-harinya. Menjadikannya semangat di tiap lagkah yg dia hentakkan tiap pagi. Bertemu bahkan hingga bersenda gurau denganku merupakan jadwal wajib yg gabole absen di tengah padatnya aktifitas. Aku juga merasa terhibur dengan kehadiran mereka. Hingga sebuah kesalahan berulang yg aku lakukan diantara mereka. Aku yg menyepelekan dan menganggap semua itu hanya selingan becandaan di tengah kegaduhan kelas tidak sadar mengguratkan luka yg cukup membekas. Aku menjalin hubungan kemudian menghentikannya di tengah jalan. Dengan berganti dengan teman sejalan. Aku sedang di atas awan, iya kala itu. Merasa disanjung dan diagungkan. Tanpa mempedulikan perasaan mereka yg memberiku tanpa mengharapkan. Saat itu, akupun hanya mendengar teriakan ego dalam hati. Yg aku rasa apa yg aku ambil adalah benar. Aku kira mereka begitu pintar memainkan logika dan mengesampingkan perasaan. Nyatanya, hingga saat ini, aku terhempas di sebuah pelataran, sendirian. "Aku juga berhak bahagia dg pilihanku, bukan ? Lalu untuk diteruskan jika tak ada perasaan ataupun harapan yg berkesan ?" Alibiku. Hingga aku putuskan untuk memilih salah satu diantaranya, ya yg menurutku the best.
Aku belajar menjaga, memperjuangkan hingga berkorban. Tapi nyatanya kebahagiaan yg didapat dari merebut / merusak kebahagiaan orang lain itu hanya sebuah angan-angan. Aku bahagia, awalnya. Tapi selebihnya kecewa. Aku ga dapet salah satu dari mereka. Aku kehilangan semuanya. Dulu yg bisa berbaris beraturan kini saling berjauhan tanpa mempedulikan. Aku liat mimik muka yg dulu begitu kecewa dg keputusan konyol yg aku ambil. Dg dalih karakter yg gabisa dicocokkan. Dia, yg berusaha mengobati lukanya yg cukup mendalam, justru aku timpali dg kekecewaan yg begitu mencekam. Kini, kesendiriannya menjadikannya seorang yg gagah dg penuh kemandirian. Kemudian ada lagi yg aku abaikan karena sebuah pilihan yg menyejukkan. Aku tidak pernah peduli seberapa pengharapan dan perjuangannya meraih. Aku hanya mampu mensejajarkan keinginan hati yg ingin menang sendiri. Hingga suatu hari, dia pergi menjauhi, tidak lagi memberi apalagi mengisi hari-hari. Aku telah memutuskan harapan tinggi yg sudah sejak lama dia sembunyikan dalam hati. Kekecewaan itu tergambar jelas dengan jarak yg sengaja dia ciptakan di tiap lini. Segala informasi tentang dirinya di hapuskan dari daftar orang yg aku cari.
Dulu aku sangat enjoy melenggang berjalan bersama orang lain, yg jelas-jelas terlihat di mata orang yg selalu mengharapkan aku menjadikan jawaban dari sebuah kesetiaan. Aku tak peduli seberapa mereka sakit. Aku hanya memikirkan egoku saja. Kini, semua itu sangat aku rasakan. Nyata, tidak dibuat-buat. Kekecewaan yg mereka rasakan kini menjadi racun yg mau ga mau harus aku tenggak sebelum malam terpejam. Semua angan, harapan, perjuangan, dan pengorbanan sia-sia belaka. Digantikan dg orang lain yg begitu jelas tak ingin bertahan. Aku merasakannya. Aku merasakan sakitnya. (TT__TT)
Penyesalan itu pasti datang. PASTI. Dan pastinya belakangan. Jika hanya memendam dan merasakan hati ini takkan muat. Mungkin bisa saja meledak. Aku takkan pernah lagi menyalahkan karena ini semua adalah suratan alam. Apa yg kamu tanam, itulah yg kamu tuai kelak. Sebelum semuanya benar-benar terlambat, mata ini tak sempat, aku benar-benar ingin meminta maaf. Aku memang terlihat egois, menyakiti langsung tapi meminta maaf saja lewat media. Jika kamu bersedia akupun takkan menolak untuk mengucapkannya padamu. Tapi aku jg tak memaksa, jika dg bertemu dg ku membuat luka hati yg mulai mengering itu kembali menganga. Aku memilih tetap di tempatku berada.
Untuk orang yg dulu pernah aku putuskan secara sepihak karena perbedaan karakter yg gagal disesuaikan, kamu ga perlu bersusah payah membalas dendam karena kini aku sudah merasakan bagaimana rasanya disakiti dg alasan konyol. Parahnya, kita tau alasannya adalah orang ketiga.
Untuk orang yg dulu sempat berharap dan dg sengaja aku abaikan karena orang lain, aku tau kamu sangat sangat membenciku bahkan mungkin berharap hilang ingatan dan tak ingin mengenalku. Aku dulu menganggapmu kekanak-kanakkan karena tidak bisa menerima kenyataan, kamu gausah kuatir. Akupun telah merasakan hal itu. Melihat orang yg sangat kita harapkan dan berbagai waktu telah kita luangkan tapi nyatanya dia menyia-nyiakan kesempatan. Memilih orang lain dan tidak ingin bertahan. Aku kini telah merasakan bagaimana sakitnya diberi alasan yg mengada-ada yg jelas-jelas yg diharapkan adalah orang lain. Melihat dg mata kepala sendiri sebuah kenyataan yg tidak sesuai dg kebenaran. Memilih menjauh dan hilang ingatan, akupun berharap seperti itu sekarang. Meski subyek yg kita tuju berbeda. Tapi kisah lara yg pernah aku tulis di seperempat buku harian kalian kini telah dibalas oleh orang lain untukku. Aku gamau menyalahkan keadaan dg berbagai alasan. Begitupun orang yg kini menyakitiku, tidak perlu aku bersusah payah memintapun, karma itu ada dan nyata.
Untuk orang yg dulu sempat berharap dan dg sengaja aku abaikan karena orang lain, aku tau kamu sangat sangat membenciku bahkan mungkin berharap hilang ingatan dan tak ingin mengenalku. Aku dulu menganggapmu kekanak-kanakkan karena tidak bisa menerima kenyataan, kamu gausah kuatir. Akupun telah merasakan hal itu. Melihat orang yg sangat kita harapkan dan berbagai waktu telah kita luangkan tapi nyatanya dia menyia-nyiakan kesempatan. Memilih orang lain dan tidak ingin bertahan. Aku kini telah merasakan bagaimana sakitnya diberi alasan yg mengada-ada yg jelas-jelas yg diharapkan adalah orang lain. Melihat dg mata kepala sendiri sebuah kenyataan yg tidak sesuai dg kebenaran. Memilih menjauh dan hilang ingatan, akupun berharap seperti itu sekarang. Meski subyek yg kita tuju berbeda. Tapi kisah lara yg pernah aku tulis di seperempat buku harian kalian kini telah dibalas oleh orang lain untukku. Aku gamau menyalahkan keadaan dg berbagai alasan. Begitupun orang yg kini menyakitiku, tidak perlu aku bersusah payah memintapun, karma itu ada dan nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan melayangkan opini-opini Anda dan berbagi bersama