Rasa kangen yg tiap hari datang kemudian terhempas begitu saja membuat hati ini terbiasa. Keinginan untuk menghubungi, menemui, dan berbicara seringkali menjadi wacana. Jangankan seperti itu, berdamai dg hati pun dirasa sangat sulit. Menempatkan kangen diantara kekecewaan itu ga mudah.
Salah satu anak buahmu menghubungiku. Dia mengatakan kamu ingin menemuiku. Kangen. Belum puaskah kamu membuatku rindu setiap hari ? Aku selalu berusaha menutupi. Kenapa ? Aku takut kecewa lagi. Kalimat-kalimatnya tidak begitu berarti. Undangan obrolan online pun mulai datang darimu. Alesannya simple, kamu hanya ingin aku hadir di acara wisudamu. What a surprise it is! Itu adalah keinginanku sejak dulu, bukan ? Dulu. Seneng bisa denger kamu melalui tahapan. Aku kira kamu bakalan jadi mahasiswa abadi. Keinginanmu dalam hati telah kamu wujudkan. Tidak kusangka tanggung jawab masih kamu miliki. Congrats!
Aku tidak akan pernah bisa menyembunyikan berita bahagia ini sendiri. Aku hubungi orang-orang terdekat yang delu pernah mengetahui perjalanan kita. Mereka yang kemarin ikut menemaniku ketika aku jatuh, menghiburku ketika duka menyelimutiku, menyemangatiku di tengah kegalauanku sontak menolak keras tawaran yang kamu ajukan kepadaku. Mereka mencoba menahan rindu yang sangat kuat membelenggu. Menasehatiku mengenai luka yang kamu taruh. Mengingatkanku agar tak mudah lagi luluh. Aku perlahan mulai sadar. tidak seharusnya aku membuka lagi pintu untukmu. Kamu mulai menyuruh teman-teman satu persatu membujukku. Hingga telfon kesekian yang kamu tuju, aku mulai memberanikan diri mengangkat. Ntah harus menjawab apa aku nanti. Kamu pasti tau bukan jika kelemahanku dari dulu adalah bujukanmu. Kamu juga pasti tidak akan merasa kerepotan melontarkan kata-kata semu. Kamu meminta kita bertemu. Tapi aku tak mau. Mau ngomong apa nanti ? Aku takut aku gabisa nahan emosi. Emosi yang terkumpul dan terpendam sejak 6bulan yang lalu jauh menjadi kerak yang menempel di langit-langit jantungku. Aku memintamu menemuiku ke rumah. Tempat yg dulu adalah tempat terseram dibanding rumah hantu. Tempat yg membuatmu enggan singgah walau sekejap saja. Tempat yg membuatmu kikuk karena tidak leluasa. Ditambah lagi nenek sihir yg dulu mendesakmu segera menghalalkanku. Pikiranku mulai bimbang. Antara seneng dan takut. Aku hanya bisa berusaha tau diri. Org bodoh yg ga ingin dibodohi lagi. Aku coba hubungin orang-orang terdekat yg mengerti kita. Hampir 90persen mereka memintaku menolak. Menolak bertemu apalagi balikan. Hanya sahabatku yg memberi solusi, dia menyarankanku agar memintanya ke rumah. Jika dia memang serius, dia pasti datang. You know what ? He's coming :') Bersama ajudan setianya. Membawakanku 2 kotak martabak dan terang bulan coklat keju, ingatanmu masih bagus bos. Melihatmu berdiri di depan pintu membuat kaki ini keluh, raut wajah yg udah aku tata sedemikian rupa agar tampak garang dikalahkan dg bibir yg senantiasa menampakkan senyum sumringah, rinduku terobati. 6 bulan sudah kita tidak bertemu. Gaada yg berubah sedikitpun darimu. Tatapanmu, cara bicaramu, senyummu, sikapmu. Ingin rasanya berlari lalu memelukmu segera, tapi aku sadar ada luka yg mulai mengering. Aku harus berhati-hati agar lukanya tidak lagi menganga.
Beberapa detik aku memandangimu tanpa jeda. Rencanaku untuk menamparmu ketika bertemu batal. Rasa sesak karena kamu kecewakan dulu tertahan sampai ulu hati. Argumen demi argumen dari ajudanmu dilontarkan secara gamblang. Membuat kebencian di hati ini seketika berubah menjadi sebuah rasa ingin tau dan mulai percaya. Kamu memang hebat memilih pengacara. Padahal sebelumnya aku sudah melabeli semua antek-antekmu sebagai budak tolol yg mau-maunya diperintah olehmu. Paparannya seperti seminar seorang motivator, meyakinkan. Otak kananku menerima segala argumennya tapi otak kiriku mengingatkanku akan kritik pedas tentang diriku kemarin. Kamu hanya diam melihatku menimpali jawaban demi jawaban dari pengacaramu. Aku masih sangat kecewa. Aku ingin menangis tapi aku gamau terlihat lemah. Kamu mulai membuka suara memebenarkan opini pengacaramu. Seperti berada di ruang persidangan, kamu menang kali ini. Pengajuan mediasi seolah diterima dg mudah. Ahhh.. apakah aku memang benar-benar bodoh ?
Ayah dan ibuku tak lama hadir. Ini moment aku tunggu. Pembela yg pasti tidak akan sekedar memaparkan bualan belaka. Tanpa tedeng aling-aling langsung menanyai ada angin apa dia berkunjung kesini. Tanpa basa-basi juga dia berkata ingin aku hadir dalam wisudanya. Tanpa akupun wisuda tetap berjalan bukan ? Tapi esensinya berbeda, paksamu. Wow, berani juga ini anak to do point sama nenek sihir yg dulu membuatnya malas menginjakkan kaki ke rumah ini. Sebelum menjawab undangannya, ibuku langsung mengumbar kesalahan-kesalahannya kemarin. Dia terdiam. Ntah ada rasa takut menyelimuti, akankah dia kembali berbalik arah ? Mengapa aku takut ? Dia dg lugas meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi. Sebelum dia meminta pun aku sudah memaafkannya. Ibuku yg dasarnya memang cocok sama dia dg mudah mengiyakan saja. Padahal aku belom memutuskan apa-apa. Aku hanya tidak ingin dia besar kepala. Aku ingin dia lebih berusaha dari sebelumnya.
Hati ini lega, kenapa do'a-do'aku dijawab oleh Tuhan seperti ini ? Aku selalu berdo'a agar kita masing-masing bahagia meski tidak bersama. Tapi mengapa dia kembali ? Apakah dia sadar bahwa hanya aku yg mudah dibohongi ? Aku setengah mati rasa. Kembali menggenggam tangannya. Screenshoot bukti pengkhianatannya dulu masih tersimpan rapi dalam folder, aku tunjukkan dan dia meringis. Tak semudah itu membohongiku, pikirnya mungkin. Aku masih percaya dg bukti autentik yg aku punya daripada dalil-dalil yg dilontarkan oleh antek-anteknya. Tapi memang tak bisa dibantah jika hati ini memang masih menginginkannya. Bukan karena dia yg pertama dalam segala hal. Tali ini tentang kenyamanan hati dan ketenangan jiwa. Hari H tiba, aku memberanikan diri mengarang alasan kepada bapak dan ibu dewan guru. Pulang lebih awal dan berharap sampai disana tepat waktu. Akupun sudah persiapkan bunga wisuda untukmu. Segitu percayakah kamu sama dia ? Ntah, hati ini memberi dg ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun. Hadir di acara megah dg dia membawa seluruh anggota keluarga, apa tanggapan mereka ? Apakah akan mencibirku seperti kemarin ? Biarlah, aku hanya melakoni adegan sesuai script yg ada. Ternyata hari itu tak seburuk yg aku kira. Acara penutup tinggal dia dan teman-teman. Melihatnya memakai toga, berjas hitam, bersepatu pantofel. Aku turut bahagia. Usahanya tidak sia-sia. Keinginanku melihatnya wisuda telah terpenuhi. Terlepas dari kekecewaan kemarin. Ada sesosok bidadari yg masih saja mencuri perhatianmu. Sepasang bola mata yg tidak lepas memerhatikannya dari jauh. Membuatku kembali harus lega melihatnya dg bebas memandangi. Aku hanya berusaha ikhlas dan ikut bahagia. Ingin sekali rasanya menyatukan mereka, kamu kebanggan orangtua dg dia yg menurut mereka memang layak untuk mendampingimu. Bukan aku yg mereka anggap benalu yg nantinya akana menyusahkan hidupmu. Aku bahagia kamu kembali. Aku lebih bahagia jika kamu bahagia meski bukan aku pendampingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan melayangkan opini-opini Anda dan berbagi bersama