Sabtu, 08 Mei 2021

Jobless

Dulu kukira lulus kuliah, menikah, dan punya anak di usia 25 tahun adalah goals hidup paling sempurna. Tidak taunya hanya euforia semata. 

Semua itu terposting keren dilengkapi quotes berisi nasehat bak motivator terkenal yang punya kapal pesiar. Lucunya semua itu dibanjiri likes dan komentar selamat.

Bersyukur itu pasti. Tapi sambat itu manusiawi.

Life goals tiap orang itu beda-beda. Dan tidak ada mana benar ato salah. Apapun itu, tiap orang punya target untuk mencapainya. Menurutku menikah dan punya anak sebelum usia 25th itu biar nanti pas ambil raport ke sekolahan aku gak dikira neneknya. Gitu ajasih. 😅

Waktu bikin catatan life goals dulu, aku lupa gak catet juga what will i should do after that moment happen. Istilahnya bikin visi aja tapi misinya kosong.

Terlahir di tengah keluarga pas-pasan menjadikan aku pribadi yang haus akan pencapaian. Dibuai keinginan tapi tak mampu mewujudkan. Sejak kecil udah ditempa pelajaran sabar. Pengen ini itu, minimal yang lagi tren di kalangan anak-anak masa itu seringkali gak kesampaian. Inget banget dulu temen makan permen marbels, tapi sama ibu cuma dibeliin kacang kulit. Pengen bgt ngerasain permen marbels, sebenernya aku bisa cranky dan nangis jerit-jerit di depan toko yang jual. Tapi ancaman ibu ninggalin aku pulang lebih menyeramkan. Yaudah aku makan deh kacang kulitnya sembari berderai air mata, sambil bayangin permen marbels.


Setelah lulus SMK, aku nekat kerja pabrik. Bukan karena apa, ya karena pengen nyenengin diri sendiri. Pengen ngewujudin apa yang dipengen di dalem hati. Tanpa harus sabar ato dialihkan ke yg lain. Tapi alasan utamanya ya gak mau lama-lama jadi beban orang tua. Nyaman banget hidup pake uang sendiri. Bener-bener keluar dari zona kritis kehidupan. Sekarang aku jadi full time mommy. Yang semua kebutuhan bergantung ke suami.

Sama halnya seperti orang tua yang punya tujuan hidupnya sendiri, suami juga punya impian yang ingin diwujudkan sendiri. Sedangkan kehadiranku adalah penghambat terwujudnya tujuan dan impian itu.

Dulu aku bertekad pegang anakku sendiri. Karena takut dia tumbuh sebagai anak yang kurang kasih sayang dan hanya menghormati uang. Semuanya terwujud. Tapi kini aku yang terlihat seperti seorang pengemis. Sahabat mengingatkanku bahwa anak itu bukan tanggungan, tapi sebuah anugerah. Sedangkan istri yang tidak berpenghasilan bukankah sebuah beban?

Keadaan membawaku seperti 20 tahun silam. Dimana aku harus seringkali mengubur hidup-hidup keinginan dalam hati. Gak enak lo kalo kita gantungin hidup ke orang lain. Pengen ini itu musti sabar dan ujung-ujungnya gak kesampaian. Sakit tapi gak keliatan. Pura-pura gapapa tapi batin tersiksa.

Gak ada yang salah, semua sudah keputusan mutlak diri sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun. Tiap keputusan memiliki konsekuensi.

Sabar lagi...

Sabar terusss...

Sampai kapan?

Ya sabar aja.

Intinya kalo belum siap-siap banget mending ditunda. Daripada agak terburu-buru dan akhirnya menyesakkan dada.

Kalo masih bisa bertahan lebih baik ditahan. Tapi kalo sudah berkali-kali tertahan, lebih baik keluarkan dan hentikan.


Salam satu sapu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan melayangkan opini-opini Anda dan berbagi bersama