Minggu, 09 Oktober 2022

Bakpia Jogja

 Sudah jadi tradisi kalo dari Jogja pasti beli bakpia. Makanan khas yang selalu dirindukan. Manis, gurih, renyah dan penuh senyum.

Taun lalu ketika berkunjung kesana, bakpiaku terasa dingin. Saking semangatnya aku beli banyak untuk kubawa pulang sebagai oleh-oleh orang rumah. Tapi rasanya sedikit hambar dan terabaikan. Meski aku bawa banyak tapi tidak satupun tersentuh. Jangankan untuk mencicipi, melihatpun sudah bosan. Padahal ada banyak rasa tersedia, tapi hanya kesepian yang paling terasa. Antusias sekali aku membawanya hingga bagasi tidak lagi muat. Tapi tetap saja bakpiaku hanya hadir sebagai syarat. Gak penting tapi dipaksa ada. Bakpiaku bertumpuk di tengah kerumunan barang di bagasi. Tepatnya berada di paling pojok. Bahkan sedikit terlupakan hingga tidak sadar kalo ada bakpia disana.

Tahun ini aku kembali berkunjung, berbeda dengan tahun lalu yang begitu penasaran dengan banyak rasa. Sekarang aku hanya berfokus dengan 1 rasa. Berharap seleraku terus tergugah hingga sampai rumah nanti. Berharap nanti masih bisa merasakan renyahnya bakpia dan manisnya kenangan. Tapi lagi-lagi ekspektasi ku ketinggian, bakpiaku terasa keras dan alot. Aku berusaha melumatnya hingga lembut tapi yang ada bakpiaku hancur berantakan. Aku memungutnya lagi satu persatu. Ku kembalikan ke dalam box dan menentengnya pulang. Aku gak tau kenapa bakpiaku masih terasa sedikit hambar. Seperti ada celah dan ruang hampa udara di dalamnya. Padahal kali ini aku membelinya dengan penuh perjuangan. Menunggu di ruang packing dan mengantri di depan kasir. Panas dan berisik. Tapi kali ini bakpianya habis dimakan. Meskipun agak keras tapi tertolong dengan krim coklat yang lumer dan manis. Bukan seberapa mahal harganya tapi bagaimana menghargainya.


Tapi ini bukan tentang bakpia (makanan). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan melayangkan opini-opini Anda dan berbagi bersama