Seminggu berlalu di tempat yg baru. Skill yg mulai terampil berani tampil di tiap pagi. Lepas setelah kemarin, mulai dari aku menginjakkan kaki pertama di tempat ini, banyak tawaran yg mulai berdatangan. Posisi sebagai admin telah aku lewatkan. Padahal besar harapan kutaruhkan disana. Mulai dari kualifikasi dg bahasa Inggris yg membuat kompetitor seiringanku mundur selangkah. Aku sih jg ga jago-jago amat. Aku cuman pengen nunjukin sampe mana sih skill yg aku punya. Sambil belajar juga. Berat hati aku jalani hari itu penuh kelimpungan. Dimana aku harus cepat menguasai skill yg baru disini dg setengah hati pikiranku tertuju pada kesempatan yg telah berlalu menjauh. Aku sungkan dg atasanku yg notabenenya kenal dan dapet recommended buat ngambil aku. Masa iya belum jg dapet sehari mau izin. Kan ga keren. Hari demi hari aku jalanin, belajar dan tanya, terus gitu terus. Beberapa hari kemudian, panggilan kerjaan datang lagi bergulat bersama panggilan hati yg masih dg nada serta lirik yg sama. Mereka berhasil membuat air mata ini kembali tumpah. Ayah dan ibukmu telah menyerahkan semua di tanganku. Mereka tidak pernah memaksa apalagi memerintah.
Tapi solusi yg mereka kasih belum cukup puas untuk menenangkan kegelimangan hati yg malam itu bener-bener kacau. Perlahan aku mulai menyeka bulir-bulir air mata yg sedari tadi bergantian menuruni pipiku. Aku iri dg orang-orang yg begitu tegas dan cepat mengambil keputusan. Apakah mereka sudah memikirkannya dg matang ? Apakah mereka tau kadar resiko yg akan mereka terima ? Apakah mereka sudah siap dg konsekuensi yg akan mereka terima ? Apakah mereka yakin tepat dg pilihannya sekarang ? Atau apakah aku saja yg begitu membuat rumit keadaan ? Aku selalu mikir tentang resiko yg akan aku terima. Aku selalu memikirkan persepsi orang lain dibandingkan apresiasi untuk diriku sendiri. Sampe hari inipun panggilan demi panggilan terus berdatangan. Ntah ini kebetulan atau memang rejeki dari Tuhan. Rencana-rencanaNya selalu berhasil memberi kejutan. Aku kemarin absen dari kehadiran tapi namaku tetap tercantum di pengumuman sebagai partisipan. Aku hanya tiada henti mengumandangkan syukur atas segala yg Dia curahkan. Banyak sekali diluar sana yg mengharapkan rutinitas seperti yg aku dapatkan. Tapi disini pun aku juga berharap seperti mereka yg begitu enjoy menjalani kegiatan yg mereka dambakan. Aku hanya ingin seperti dulu, capeknya badanku terhibur dg bebasnya hobiku. Sebagai hiburan yg tanpa beban. Tertawa lepas di tengah kesibukan. Ntah karena aku telah terbiasa atau hanya tempat ini yg begitu berkuasa.
I have partner, but they aren't.
Mungkin aku yg tidak begitu lihai menjalin kedekatan ato mereka saja yg begitu jaim membaur bersama kegilaan yg aku punya. Keadaan disini merubahku menjadi seseorang yg terlihat sempurna, bukan merasa apa ada dan semestinya. Aku cape loh pake kostum dan topeng kaya lagi karnaval gini. Aku juga pengen bebas pake piyama dengan kaos kaki dan selimut yg mbleler kena liur yg muncrat karena begitu lepasnya aku terbahak. Kerjaan yg ada tidak begitu menyita dan menyiksa. Tapi hiburan setelahnya itu yg membuat mati rasa dan merana. Aku kehilangan kotak tertawaku. Belum sempat aku menemukan bagian yg kemarin tertinggal disana, sekarang mereka jg tidak mendukungku untuk memperbaikinya. Sebagai karyawati, aku juga merangkap sebagai security. Jagain kantor dan brankas. Yup! Aku habiskan hampir sepenuh hariku bersama orang-orang yg tidak mendukung perbaikan akan kotak tertawaku yg rusak. Aku tidak menemukan chemistry dg mereka. Kadang saking suntuknya aku sampe mengirim broadcast untuk beberapa teman lama sebagai tema pembicaraan. Alhasil, mereka memang ampuh menyulam lekuk-lekuk bibirku untuk terbuka. Mereka memang belum mengerti dan tidak akan aku ijinkan untuk mengerti tentang apa yg aku rasain kini. Tentang perihnya hati hingga sakitnya dikhianati. Jangan pernah menyalahkan, mereka memang tidak akan pernah bisa sejalan dan sepemikiran. Mencoba mengatupkan bibir ataupun menguak tabir dirasa sama saja. Aku hanya bisa berdiam menahan setiap rasa sakit yg hadir tiap malam. Mengusik mimpi-mimpiku yg lelap. Menggambarkan suatu keadaan yg dulu pernah membuatku begitu nyaman dan aman. Menampilkan pemain-pemain yg sudah khatam di tiap peran. Kini mereka telah menjadi lawan dalam pikiran yg tak karuan. Tak lagi menawan. Tersisa aku yg setiap waktu harus mengambil hikmah di tiap kejadian yg harus bisa mendewasakan. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan melayangkan opini-opini Anda dan berbagi bersama