Minggu, 14 Juni 2015

Penantian Butuh Kepastian, Kepastian Butuh Ketegasan

Hari ini cukup melelahkan. Cukup deh. Jadi abg-sitter seharian. Nganter, njajanin, nemenin makan, ngehibur, sampe pusing nyut-nyutan. Congrats my brother, runner up 2 se-Pasuruan raya Kejuaraan Karate dalam acara HUT BHAYANGKARA Ke-69. Fight harder next ! Ga nyangka ya sepanjang perjalanan pulang tadi nih, udah jarang bgt liat hijaunya tanaman yg biasanya berbaris rapi di sepanjang kanan kiri mata memandang. Agrarisme mulai terkikis abis. Sawah-sawah yg dulu begitu ceria menguning, kini berubah menjadi jajaran kawasan industri dan bisnis properti. Ga salah lagi, budaya konsumerisme menjadi tren saat ini. Kita bukan lagi creator. Kita hanya budak-budak kecil yg diperah dan dijatah. Kita bukan lagi pewaris tahta bahkan harta yg dulu katanya melimpah. Murah tapi mewah, itulah budaya. What the... Panci plastik, beras plastik, hingga operasi plastik. Semua dilakukan untuk mewujudkan petuah sejarah, "Mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya demi keuntungan yg sebesar-besarnya." Ada rupa, rasa dan harga. Be smart! ;)

Sebulan berlalu semenjak aku resmi jadi seorang lulusan SMK yg tidak berpenghasilan. Amplop-amplop coklat yg sudah disebar pun tak kunjung memberikan umpan balik berupa panggilan atau pesan singkat yg melegakan. Menunggu sebuah harapan besar yg tidak pasti. Huh! Kadang geram, kadang kesal, kadang tegar, kadang lelah, biarlah, tabah. Cuplikan dialogku dengan ibuk sore itu mungkin saja tidak sengaja terdengar oleh senja keemasan yg mulai meredup. Menyebarkan berita tentang keluhanku yg senantiasa tiada henti dan letih didengar olehNya. Tanpa sengaja dan dicipta, ayah mendapat kabar gembira. Menyampaikan sua yg tidak biasa siang itu. Memberiku kesempatan untuk mencoba. Voila! Aku diterima dan dipersilahkan bersiaga. Beberapa rules yg agak mengencangkan pinggang memang terdengar mengerikan. Tapi bukankah the hardest thing is beginning. Tanpa kita mencoba, darimana kita bisa, mengerti, belajar, dan menerima ? Tidak mudah mendapatkan posisi disana. Sebelumnya kandidat yg mencoba pulang dengan sia-sia. Dengan beberapa kriteria yg membuat siapapun menggelengkan kepala. Alhamdulillah.. Aku tidak lagi mengganggu ibuk yg sedang sibuk membersihkan lantai rumah dengan tiduran melihat berita. Sebentar lagi aku akan keluar rumah dan terpisah. Aku diberikan rumah kedua untuk singgah sekaligus bekerja. Pengumuman tes selanjutnya mulai berdatangan memenuhi notif di beranda. Beberapa kali aku sempat dibuatnya dilema. Membuat pikiran dan hati bertanya-tanya. Manakah yg seharusnya cocok untuk melanjutkan asa ? Aaaarghh!! Untungnya aku punya partner hidup yg begitu wibawa. Orangtua. Ini bukan hanya sebuah kepastian, tapi juga kelayakan dan jenjang ke depannya. Mereka yakin keputusanku untuk memilih sebuah kepastian kecil ini lebih baik dibanding menanti sebuah harapan besar. Sebenernya prospeknya sama-sama bagus. Tapi untuk apa kita susah-susah mengikuti tahapan jika belum tentu ada harapan apalagi kepastian. Sebagai anak rumahan yg dari dulu ga pernah bisa ngejawab kalo dimarahin orangtua, aku selalu nurut. Aku tau, orangtua itu selalu benar dibanding wanita. Meskipun ga selamanya keputusan mereka membuat beberapa ruang di hati ini lega. Sebelumnya sudah terbukti jika ekspektasi mereka juga masih jauh dari realita yang ada.
Ah! Sudahlah. Mata ini mulai berat, tapi tengkukku mulai berangsur ringan. Efek dari Parasetamol yg biasanya kutelan jika sakit ini mulai merambah. Aku mengajak badan ini dan anggotanya istirahat deh. Biar besok bangun fresh memasuki lingkungan kerja baru. Yg kata ibukku, jauh dari ekspektasi buruk seorang buruh. Yg dulu sempat dijadikan alasan untukku memutuskan peluh dan rindu yg memburu. "Kamu bisa, nduk. Buktikan sama mereka-mereka yg sudah merendahkanmu. Karena sesungguhnya mereka tidak lebih tinggi dari kamu. Tanpa kamu membalas, Tuhan sudah menyiapkannya. Bersabar, terus berjuang, tersenyum dan lihat saja episode-episode selanjutnya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan melayangkan opini-opini Anda dan berbagi bersama